ASKEP ANEMIA
ERITROBLASTOSIS
BAB I
KONSEP DASAR
PENYAKIT ANEMIA ERITROBLASTOSIS
A.
Pengertian
Eritroblastosis fetalis adalah suatu
sindroma yang ditandai oleh anemia berat pada janin dikarenakan ibu
menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindroma ini merupakan
hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin terutama pada sistem
rhesus.1 Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks
dan masih banyak perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun
interaksi antigeniknya. Pada tahun 1932, Diamond, Blackfan dan Baty melaporkan
bahwa fetal anemia yang ditunjukkan dengan jumlah eritroblas yang ada dalam
sirkulasi darah menggambarkan sindroma ini.
Rhesus positif (rh positif) adalah
seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh
negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada eritrositnya.
Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D dan merupakan antigen yang
berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada sistem ABO dimana
seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang
berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir
selalu oleh suatu paparan apakah itu dari transfusi atau kehamilan.
Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan
dengan sistem golongan darah lainnya. Pemberian darah Rhesus positif (D+) satu
kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai
golongan darah Rhesus negatif (D-) sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif
(anti-D) walaupun golongan darah ABOnya sama.
Anti D merupakan antibodi imun tipe
IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap (sedimentation coefficient)
7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum juga cairan
tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D
dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat
menderita penyakit hemolisis.
Penyakit hemolisis pada janin dan
bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun
antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO) dan merupakan
salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik
terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit
janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental
antibodi maternal yang merusak eritrosit janin.
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat
kriteria patologi klinik untuk mengakkan diagnosis hidrops fetalis. Diamond
dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang ditandai oleh sejumlah
eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis. Pada tahun 1940,
Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam patogenesis kelainan
hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan bahwa eritroblas
disebabkan oleh isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang diwariskan
secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan
profilaksis maternal yang efektif.
B. Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO
terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah
merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam
beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal
microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat
pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi.
Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk
kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti
(coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan
hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe
II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan
melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan
eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan
dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan
rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan
berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya
untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.
Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis
hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya
antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar
dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada
saat transfusi atau berbahaya bagi janin.
Hemolisis yang berat biasanya
terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus,
ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus
positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya.2,3,7,9
Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah
(hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin
secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh
dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu
waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada
bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir
adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan
ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya
penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen).
Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat
mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut
untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis
dan anemia dapat menimbulkan masalah jantung.
C.
Gejala Klinis
Terdapat
dua gejala klinis utama pada eritroblastosis fetalis, yaitu:
1. Hidrops
fetalis
Hidrops
fetalis adalah suatu sindroma ditandai edema menyeluruh pada bayi, asites dan
pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi
bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema
subkutan dan efusi ke dalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang
berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada
sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler di dalam lien dan hepar, pembesaran
jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi
dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks
yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin.
Patofisologi
hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup keadaan:
a) gagal jantung akibat anemia.
b) kebocoran kapiler akibat hipoksia
pada kondisi anemia baerat
c) hipertensi vena portal dan umbilikus
akibat kerusakan parenkim hati oleh proses hematopoesis ekstrameduler.
d) menurunnya tekanan onkotik koloid
akibat hipoproteinemia yang disebabkan oleh disfungsi hepar
Janin
dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan kegagalan
sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas
pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie menyebar,
sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa
jam meskipun transfusi sudah diberikan.
2) Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin
dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal atau
menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan
ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau
menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.
Pada
bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala
dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak pernah
dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli
konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat bertahan
selama berminggu–minggu hingga berbulan-bulan.
D.
Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi
antibodi pada serum ibu. Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi
ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin
secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti IgG
(Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah
pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung antigen
eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu
ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang
penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs
ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi
akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus
yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat
< 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%,
hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.
E.
Penatalaksanaan
Bentuk ringan tidak memerlukan
pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar.
Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya dilakukan dengan darah yang
sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif,
transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif sesering mungkin
sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi.
Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia
berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan
terjadinya anemia berat dan kematian janin.
1) Transfusi
tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat
dicapai :
a) memperbaiki keadaan anemia, tetapi
tidak menambah volume darah
b) menggantikan eritrosit yang
telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit normal
(menghentikan proses hemolisis)
c) mengurangi kadar serum bilirubin
d) menghilangkan imun antibodi yang
berasal dari ibu
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
a. berikan darah donor yang masa
simpannya ≤ 3 hari untuk menghindari kelebihan kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO
nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh
negatif dalam bentuk Packed red cells
d. bila keadaan sangat mendesak,
sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia maka untuk sementara dapat
diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk transfusi tukar pertama,
kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan darah donor Rh
negatif yang kompatibel.
e. pada anemia berat sebaiknya
diberikan packed red cells
f. darah yang dibutuhkan untuk
transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama pemberian transfusi ≥ 90
menit
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang
antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak memungkinkan untuk transfusi
tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun untuk transfusi tukar
berikutnya harus menggunakan darah bayi.
h. sebelum ditransfusikan, hangatkan
darah tersebut pada suhu 37°C
i.
pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya
masukan darah donor sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua
darah donor ditransfusikan.
GOLONGAN DARAH IBU
|
|||||
O
|
A
|
B
|
AB
|
||
GOLONGAN
DARAH
BAYI
|
O
|
O
|
O
|
O
|
-
|
A
|
O
|
A
|
O
|
A
|
|
B
|
O
|
O
|
B
|
B
|
|
AB
|
-
|
A
|
B
|
AB
|
Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh
inkompatibilitas. 1
2) Transfusi
intra uterin :
Pada
tahun 1963, Liley memperkenalkan transfusi intrauterin. Sel eritrosit donor
ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi
dan masuk kedalam sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion).
Bila paru janin masih belum matur, transfusi intrauterin adalah pilihan yang
terbaik. Darah bayi Rhesus (D) negatif tak akan mengganggu antigen D dan karena
itu tak akan merangsang sistem imun ibu memproduksi antibodi. Tiap antibodi
yang sudah ada pada darah ibu tak dapat mengganggu darah bayi. Namun harus
menjadi perhatian bahwa risiko transfusi intrauterin sangat besar sehingga
mortalitas sangat tinggi. Untuk itu para ahli lebih memilih intravasal
transfusi, yaitu dengan melakukan cordocentesis (pungsi tali pusat perkutan).
Transfusi dilakukan beberapa kali pada kehamilan minggu ke 26–34 dengan
menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh negatif sebanyak 50–100
ml. Induksi partus dilakukan pada minggu ke 32 dan kemudian bayi dibantu dengan
transfusi tukar 1x setelah partus. Induksi pada kehamilan 32 minggu dapat
menurunkan angka mortalitas sebanyak 60%.
3) Transfusi
albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg
BB bayi, maka albumin akan mengikat sebagian bilirubin indirek. Karena harga
albumin cukup mahal dan resiko terjadinya overloading sangat besar maka
pemberian albumin banyak ditinggalkan.
4) Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat
menurunkan kadar bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat
digunakan sebagai terapi tunggal.
a)
Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes
Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati dalam rahim akibat kelainan
hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan dengan
perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan
kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah
mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya
Rhesus negatif.
Jika titer antibodi naik sampai
secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan. Titer kritis
tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32,
maka prognosis janin diperkirakan baik.
a. Mortalitas
Angka
mortalitas dapat diturunkan jika :
ü Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan
mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini
ü Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus
negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang tinggi didalam cairan
amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang diarahkan secara USG
ü Pada kasus yang berat, janin dapat
dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di dalam rahim atau/dan dapat
diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel darah
merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif selama atau
segera setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses
isoimunisasi D.
b. Perkembangan
anak selanjutnya.
Menurut
Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami tranfusi
janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia
18 bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal dan 11
anak mengalami gangguan tumbuh kembang.
b)
Pencegahan
Tindakan terpenting untuk menurunkan
insidens kelainan hemolitik akibat isoimunisasi Rhesus adalah imunisasi pasif
pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak
kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan
melindungi ibu dari 4 ml darah janin.
Suntikan anti Rhesus (D) yang
diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak membuat wanita
kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk membentuk antibodi bebas,
sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.
Tabel 2. Kategori obat sebagai pencegahan Inkompatibilitas
Rhesus.
Drug Name
|
Human anti-D immune globulin (RhoGAM) — Suppresses immune
response of nonsensitized Rh O (D) negative mothers exposed to Rh O (D)
positive blood from the fetus as a result of a fetomaternal hemorrhage,
abdominal trauma, amniocentesis, abortion, full-term delivery, or transfusion
accident. Should be administered if the patient is Rh-negative, unless the
father also is Rh-negative.
|
Adult Dose
|
<13 wk gestation: 50 mcg IM >13 wk gestation: 300
mcg IM
|
Pediatric Dose
|
Administer as in adults
|
Contraindications
|
Documented hypersensitivity; patients who have received
Rho(D)-positive blood within the last 3 mo
|
Interactions
|
None reported
|
Pregnancy
|
C – Safety for use during pregnancy has not been
established.
|
Precautions
|
Caution in thrombocytopenia, bleeding disorders, or IGA
deficiency; when administered close to delivery, may interfere with Rh typing
of the newborn
|
Preparat globulin yang diberikan
kepada ibu dengan Rhesus negatif yang mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam
sesudah melahirkan ternyata sangat protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus,
kehamilan ektopik, mola hidatidosa, atau perdarahan pervaginam harus ditangani
karena akan mengalami isoimunisasi tanpa preparat imunoglobulin. Ibu rhesus
negatif yang memperoleh darah ataupun fraksi darah berupa trombosit atau
plasmaferesis berisiko untuk mengalami sensitisasi. 1,4,6
Kalau terdapat keraguan untuk
memberikan preparat Ig anti G maka preparat tersebut harus diberikan, termasuk
kepada ibu yang tampaknya belum mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam
setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini dapat menurunkan resiko isoimunisasi.
Antibodi dengan dosis 300 mikrogram diberikan kepada ibu rhesus negatif yang
belum mengalami sensitisasi pada kehamilan 28 minggu dan kehamilan 34 minggu
atau pada saat dilakukan amniosintesis atau pada saat terjadi perdarahan
uterus. Dosis ketiga diberikan kepada ibu sesudah melahirkan. 1,4
Kegagalan pemberian anti D terjadi
bila : 1
a. tidak diberikan suntikan RhIg pada
ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan bayi Rh positif
b. tidak diberikan suntikan
Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah pemeriksaan amniocentesis
c. pemberian dosis RhIg tidak mencukupi
(karena feto maternal macrotransfusion jarang terjadi)
d. sudah terlanjur terjadi sensitisasi
oleh sel darah merah janin
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian Fisik
a. Aktivitas /istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise umum.
Kehilangan produktivitas; penurunan semangat kerja.
Toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda : Takikardi/ takipnea: dispnea pada saat kerja atau istirahat.
Latargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
Ataksia, tubuh tidak tegak.
Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan keletihan.
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise umum.
Kehilangan produktivitas; penurunan semangat kerja.
Toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda : Takikardi/ takipnea: dispnea pada saat kerja atau istirahat.
Latargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
Ataksia, tubuh tidak tegak.
Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan keletihan.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat kehilangan darah kronis, misal: perdarahan GI kronis, menstruasi barat, agina.
Riwayat endokarditis infektif kronis.
Palpitasi (takikardi kompensasi).
Tanda : TD: Peningkatan siastole dengan diastole stabil dan tekanan nadi Melebar:hipotensi postural.
Disritmia.
Bunyi jantung: mur-mur siastolik.
Ekstremitas (warna): Pucatpd kulit dan membran mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir, dan dasar kuku).
Skelera: biru atau putih seperti mutiara.
Rambut: kering, mudah putus, menipis: tumbuh uban secara prematur.
Gejala : Riwayat kehilangan darah kronis, misal: perdarahan GI kronis, menstruasi barat, agina.
Riwayat endokarditis infektif kronis.
Palpitasi (takikardi kompensasi).
Tanda : TD: Peningkatan siastole dengan diastole stabil dan tekanan nadi Melebar:hipotensi postural.
Disritmia.
Bunyi jantung: mur-mur siastolik.
Ekstremitas (warna): Pucatpd kulit dan membran mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir, dan dasar kuku).
Skelera: biru atau putih seperti mutiara.
Rambut: kering, mudah putus, menipis: tumbuh uban secara prematur.
c. Integritas Ego
Gejala : Keyakinan agama, budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misal: penolakan trasfusi darah.
Tanda : Depresi.
Gejala : Keyakinan agama, budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misal: penolakan trasfusi darah.
Tanda : Depresi.
d. Eliminasi
Gejala : Riwayat pielonefritis, gagal ginjal.
Flatulen, sindrom malabsopsi.
Hematemesis, feses dengan darah segar, melana.
Diare atau konstipasi.
Penurunan haluaran urine.
Tanda : Distensi abdomen.
Gejala : Riwayat pielonefritis, gagal ginjal.
Flatulen, sindrom malabsopsi.
Hematemesis, feses dengan darah segar, melana.
Diare atau konstipasi.
Penurunan haluaran urine.
Tanda : Distensi abdomen.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani redah/ masukan produk sereal tinggi.
Nyeri mulut dan lidah, kesulitan menalan (ulkus pada faring).
Mual/muntah, dispepsia, anoreksia.
Penurunan berat badan.
Tanda : Membran mukosa kering, pucat.
Turgor kulit: buruk.
Stomatitis.
Gejala : Penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani redah/ masukan produk sereal tinggi.
Nyeri mulut dan lidah, kesulitan menalan (ulkus pada faring).
Mual/muntah, dispepsia, anoreksia.
Penurunan berat badan.
Tanda : Membran mukosa kering, pucat.
Turgor kulit: buruk.
Stomatitis.
f. Hygiene
Gejala : penampilan tidak rapi, kurang bertenaga.
Gejala : penampilan tidak rapi, kurang bertenaga.
g. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo.
Insomnia.
Kelemahan, keseimbangan buruk.
Sensasi menjadi dingin.
Tanda : Peka terhadap rangsang, gelisah, depresi, apatis.
Gangguan koordinasi, paralisis.
Gejala : Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo.
Insomnia.
Kelemahan, keseimbangan buruk.
Sensasi menjadi dingin.
Tanda : Peka terhadap rangsang, gelisah, depresi, apatis.
Gangguan koordinasi, paralisis.
h. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri abdomen samar, sakit kepala.
Gejala : Nyeri abdomen samar, sakit kepala.
i.
Pernafasan
Gejala : Riwaya TB, abses paru
Napas pendek pada waktu istirahat dan beraktivitas.
Tanda : Takipnea, ortopnea, dispnea.
Gejala : Riwaya TB, abses paru
Napas pendek pada waktu istirahat dan beraktivitas.
Tanda : Takipnea, ortopnea, dispnea.
j.
Keamanan
Gejala : Riwayat terpajan pada radiasi baik sebagai pengobatan atau kecelakaan.
Riwayat kanker, terapi kanker.
Transfusi darah sebelumnya.
Gangguan penglihatan.
Penyembuhan yang buruk.
Tanda : demam, berkeringat malam.
Ptechie dan ekimosis (apastik).
Gejala : Riwayat terpajan pada radiasi baik sebagai pengobatan atau kecelakaan.
Riwayat kanker, terapi kanker.
Transfusi darah sebelumnya.
Gangguan penglihatan.
Penyembuhan yang buruk.
Tanda : demam, berkeringat malam.
Ptechie dan ekimosis (apastik).
k. Pembelajaran/penyuluhan
Gejala : Kecenderungan keluarga untuk anemia.
Penggunaan alkohol kronis.
Riwayat adanya masalah dengan penyembuhan luka atau perdarahan
Gejala : Kecenderungan keluarga untuk anemia.
Penggunaan alkohol kronis.
Riwayat adanya masalah dengan penyembuhan luka atau perdarahan
l.
Pertimbangan rencana pemulangan
DRG menunjukkan rerata lamanya di rawat 4 – 6 hari.
Dapat memerlukan dalam pengobatan: aktivitas perawatan diri, perubahan rencana diet.
DRG menunjukkan rerata lamanya di rawat 4 – 6 hari.
Dapat memerlukan dalam pengobatan: aktivitas perawatan diri, perubahan rencana diet.
B. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah lengkap.
2. Besi serum.
3. Masa perdarahan: memanjang.
4. LDH: mungkin meningkat.
1. Pemeriksaan darah lengkap.
2. Besi serum.
3. Masa perdarahan: memanjang.
4. LDH: mungkin meningkat.
C.
Diagnosa Keperawatan
DIAGNOSA: Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan dengan ketidakmampuan/lambatnya mencerna makanan/absopsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan SDM.
a. Berikan makanan 6 porsi kecil jika
mudah lelah
b. Berikan makanan kesukaan klien dan
sesuai dengan kondisi mukosa mulut; pastikan bahwa klien menerima semua zat
gizi yang diperlukan
c. Sajikan makanan secara menarik;
singkirkan dengan segera makanan yang tidak dimakan dan tidak diinginkan.
d. Bantu klien saat makan untuk
menghemat tenaga klien
e. Mintalah keluarga berkunjung saat
akan untuk menemani dan membantu bila diperlukan.
f. Berikan terapi zat besi sesuai
pesanan
g. Hindari konstipasi: tingkatkan cairan
dan makanan berserat.
h. Timbang berat badan setiap hari
dengan waktu, pakaian dan timbangan yang sama.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Berat badan meningkat sampai atas normal: diet dan cairan seimbang dapat dipertahankan.
DIAGNOSA: potensial terhadap cidera yang berhubungan dengan hipoksia yang ditandai dengan vertigo, kebas atau pusing.
Berat badan meningkat sampai atas normal: diet dan cairan seimbang dapat dipertahankan.
DIAGNOSA: potensial terhadap cidera yang berhubungan dengan hipoksia yang ditandai dengan vertigo, kebas atau pusing.
1) Berikan lingkungan yang aman.
2) Instruksikan pada klien untuk duduk
di sisi tempat tidur dan berdiri sebelum berjalan untuk mengetahui apakah ada
pusing.
3) Arahkan klien untuk meminta bantuan
saat ambulasi bila diperlukan.
4) Bantu hygiene dan perawatan lainnya
untuk mencegah cedera.
5) Hindari cairan yang panas saat makan
atau mandi.
6) Ajarkan klien tentang faktor-faktor
resiko dan tindakan pencegahannya untuk menghindari cedera.
Hasil yang
diharapkan/evaluasi:
Klien secara verbal mengungkapkan tindakan untuk mencegah cedera dan menunjukkan tidak cidera.
DIAGNOSA: gangguan proses berpikir yang berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh penurunan konsentrasi dan peka rangsang.
Klien secara verbal mengungkapkan tindakan untuk mencegah cedera dan menunjukkan tidak cidera.
DIAGNOSA: gangguan proses berpikir yang berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh penurunan konsentrasi dan peka rangsang.
a.
Evaluasi fungi kognitif setiap 8 jam.
b.
Rencanakan perawatan dengan klien untuk meningkatkan konsistensi
dan perasaan tenang.
c.
Anjurkan mengungkapkan masalah tentang kemampuan untuk
berkonsentrasi; pastikan klien bahwa hal ini akan ditingkatkan dengan terapi.
d.
Beritahu klien setiap langkah aktivitas dan instruksi;
jangan berlebihan, instruksikan variasi pada satu waktu.
e.
Hindarkan melengkapi kalimat untuk klien; dengarkan secara
sabar.
f) Berikan aktivitas yang berbeda sesuai dengan kemampuan klien untuk berkonsentrasi, misal: musik kesukaan, dan lain-lain.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Klien menunjukkan peningkatan konsentrasi saat melakukan AKS dan aktivitas terjadwal lainnya; tanda-tanda peka rangsang tidak ada.
DIAGNOSA: Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan.
f) Berikan aktivitas yang berbeda sesuai dengan kemampuan klien untuk berkonsentrasi, misal: musik kesukaan, dan lain-lain.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
Klien menunjukkan peningkatan konsentrasi saat melakukan AKS dan aktivitas terjadwal lainnya; tanda-tanda peka rangsang tidak ada.
DIAGNOSA: Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan.
a)
Pantai tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
b) Kaji respons terhadap aktivitas.
c) Rencanakan dengan klien sehingga aktivitas yang diinginkan dapat dilakukan tanpa kelelahan.
d) Bantu AKS, jika diperlukan, untuk menghemat tenaga.
e) Sediakan waktu istirahat tanpa gangguan untuk memelihara tenaga yang ada.
f) Tingkatkan aktivitas klien secara bertahap sampai tingkat toleransi tercapai.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
- Tingkat aktivitas klien mengalami kemajuan sampai keadaan sebelum sakit.
- Melakukan AKS tanpa takikardi atau dispnea.
DIAGNOSA: Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang mendapat informasi akurat tentang proses, pengobatan dan aktivitas yang diperbolehkan.
a) Diskusikan nama obat-obatan, dosis, waktu pemberian, tujuan, efek samping untuk dilaporkan (mual, muntah, diare atau konstipasi).
b) Jelaskan perlunya melanjutkan terapi zat besi meskipun sudah merasa baik.
c) Jelaskan alasan untuk tidak minum obat zat besi dicampur dengan susu atau Antasida.
d) Mendemonstrasikan metode pemberian zat besi secara parenteral.
e) Jelaskan pentingnya mempertahankan diet tinggi zat besi dan cairan seimbang.
f) Jelaskan pentingnya pemantauan berat badan setiap minggu.
b) Kaji respons terhadap aktivitas.
c) Rencanakan dengan klien sehingga aktivitas yang diinginkan dapat dilakukan tanpa kelelahan.
d) Bantu AKS, jika diperlukan, untuk menghemat tenaga.
e) Sediakan waktu istirahat tanpa gangguan untuk memelihara tenaga yang ada.
f) Tingkatkan aktivitas klien secara bertahap sampai tingkat toleransi tercapai.
Hasil yang diharapkan/evaluasi:
- Tingkat aktivitas klien mengalami kemajuan sampai keadaan sebelum sakit.
- Melakukan AKS tanpa takikardi atau dispnea.
DIAGNOSA: Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang mendapat informasi akurat tentang proses, pengobatan dan aktivitas yang diperbolehkan.
a) Diskusikan nama obat-obatan, dosis, waktu pemberian, tujuan, efek samping untuk dilaporkan (mual, muntah, diare atau konstipasi).
b) Jelaskan perlunya melanjutkan terapi zat besi meskipun sudah merasa baik.
c) Jelaskan alasan untuk tidak minum obat zat besi dicampur dengan susu atau Antasida.
d) Mendemonstrasikan metode pemberian zat besi secara parenteral.
e) Jelaskan pentingnya mempertahankan diet tinggi zat besi dan cairan seimbang.
f) Jelaskan pentingnya pemantauan berat badan setiap minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar