ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SSJ
(Sindrom
Stevens-Johnson
)
By : Ahmad Wahyudi
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan
sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping
obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek
samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik
(toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut
sebagai eritema multiforme (EM).
Syndrom ini
jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal
berupa demam tinggi, melaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Syndrom steven johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan
S.C johnson, 1992 syndrom steven johnson yang bisa disingkat SJS merupakan
reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Angka kejadian syndrom steven johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar
1-14 per 1 juta penduduk. Syndrom steven johnson dapat timbul sebagai
gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkakdan kemerahan pada kulit.
Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta
dapat timbul demam, sariawan padamulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat
terjadi luka-luka seperti koreng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan
simtem imom seperti HIV dan AIDS serta lapus angka kejadiannya dapat meningkat
secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus syndrom steven johnson
karena syndrom steven johnson sangat berabahaya bahkan dapat menyebabkan
kematian. Syndrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab syndrom
steven johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari
alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit steven johnson sendiri gatal-gatal
pada kulit dan badan kemerah-merahan dan syndrom ini bervariasi ada yang berat
dan ada yang ringan.
( Support, Edisi November 2008 )
B.
TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum
Untuk memberikan pengalaman nyata tentang Asuhan Keperawatan dengan Kasus
Syndrome Steven.
2. Tujuan khusus
Secara khusus”asuhan keperawatan pada pasien dengan syndrome steven
Johnson” ini di susun supaya :
a. Perawat dapat mengerti tentang pengertian,penyebab,klasifikasi,tanda dan
gejala,patofisiologi,pathway,pemeriksaan penunjang,penatalaksanaan,serta
komplikasi dari syndrome steven Johnson.
b. Perawatdapat memeberian asuhan keperawatan pada klien dengan syndrome
steven Johnson.
c. Perawat dapat memberikan pendidikan kessehatan tentang syndrome steven
Johnson kepada klien.
BAB
II
TINJAUAN TEORI
A.
DEFINISI
Sindrom
steven-jhonson (ekstodermosis erosive pluriorifisialis, sindrom
mukokutanea ocular, eritema multiformis tipe hebra, eritema multiforme mayor,
eritema bolusa maligna ) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lender
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.(Kapita Selekta Kedokteran edisi 3)
Sindrom
Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993:
127).
Sindrom
Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit,
selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik
sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Jadi
syndrom steven johnson adalah suatu syndrom berupa kelainan kulit pada selaput
lendir oritisium mata genital.
B.
ETIOLOGI
Etiologi SSJ yang pasti belum diketahui,
Beberapa penyebab timbulnya SSJ diantaranya :
§ infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit)
§ obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin,
antipiretik/analgetik (misalnya: derivate salisil/pirazolon, metamizon,
metampiron, dan paracetamol,klorpromazin, karbamazepin, kinin, aspirin,
jamu, digitalis, kontraseptif)
§ fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X)
Penyebab
belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah :
1) Alergi Obat Secara Sistemik :
a.
penisilin,
analgetik, arti piuretik
b.
Penisilline
dan semisentetiknya
c.
Sthreptomicine
d.
Sulfonamida
e.
Tetrasiklin
f.
Anti
piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol)
g.
Kloepromazin
h.
Karbamazepin
i.
Kirin
Antipirin
2)
Infeksi
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3)
Neoplasma
dan faktor endokrin
4)
Faktor
fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5)
Makanan
C.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala prodnormal
berkisar antara 1-14 hari berupa demam,lesu,batuk,filek,nyeri dada,sakit
menelann,pegal sendi dan otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam keadaan
berat kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akn timbul
lesi pada :
·
Kelainan
kulit
·
Kelainan
selaput lendir di orifisium
·
Kelainan
mata
a)
Kelainan
Kulit
Kelainan
kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
b)
Kelainan
Selaput lender di orifisium
Kelainan
di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital,
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal
dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta
kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak
adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat
di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini
dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran
di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
c)
Kelainan
Mata
Kelainan pada mata pada pasien SSJ antara lain : konjungtivitas
kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan
sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi
kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan
mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari
beberapa bulan sampai 31 tahun.
Kelainan
mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis.
D.
PATOFISIOLOGI
Pathogenesis SSJ sampai saat ini sukar di ketahui dengan pasti karna
penyebabnya berbagai factor walaupun
pada umumnya sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) terhadap obat . sekitar 50% penyebab
SSJ adalah obat,peringkat tertinggi adalah obat-obat sulfonamide,laktat,imidarzol,dan
NSAID.sedangkan peringakat menengah adalah antikorfursal,aromatic dan
alufurinol.
Beberapa factor
penyebab timbulnya SSJ di antanya :
·
Infeksi virus
·
Herves simpleks
·
mycoplasma pneumoniae
·
Makanan ( coklat )
·
Vaksinasi
Factor lingkungan seperti ;
·
Udara dingin
·
Sinar matahari
·
Sinarr X rupanya sangat berperan sebagai
pencetus ( trigger)
Reaksi hipersensitivitas tipe III ( reaksi komplekk imun )yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen
atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas
lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang
dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh
karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
:
1)
Kegagalan
fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2)
Stres
hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuria
3)
Kegagalan
termoregulasi
4)
Kegagalan
fungsi imun
5)
Infeksi
E. KOMPLIKASI
Steven Johnson syndroom sering menimbulkan komplikasi pada mata beruupa
simblefaron dan ulkus kornea .komplikasi lain adalah timbulnya sembab,demam
atau malahan hippotermia.
Berikut komplikasi yang sering pada steven Johnson syndrome :
·
Bronkopneumonia
(80%)
·
Sepsis
·
Kehilangan
cairan/darah
·
Gangguan
keseimbangan elektrolit
·
Syok
·
Kebutaan
gangguan lakrimasi
G. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium :
·
Tidak
ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa.
·
Pemeriksaan
darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau
leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
·
Pemeriksaan
elektrolit
·
Kultur
darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi
·
Pemeriksaan
bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan
B. Imaging Studies
Chest
radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
C. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat
mendukung ditegakkannya diagnosa.
D.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang
utama adalah menghenntikan obat yang di curigai sebagai penyebab dari SSJ ,sementara
itu kemungkinan infeksi virus herves simplex dan micoplasma pneumonia harus di
singkirkan,selanjutnya perawatan lebih kepada pengobatan siimtomatik:
a. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5
mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul
lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap
hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang
diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid
dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus
diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan
diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik
dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis
untuk anak tergantung berat badan).
b.
Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya
bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang
jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya
gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
c.
Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta
kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 %
dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.
d.
Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine
perak.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
a.
Data
Subyktif
Klien
mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan / sulit menelan.
b.
Data
Obyektif
·
Kulit
eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang
luas, sering didapatkan purpura.
·
Krusta
hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di
faring
·
Konjungtiva,
perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c.
Data
Penunjang
·
Laboratorium
: leukositosis atau esosinefilia
·
Histopatologi
: infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema
intrasel di epidermis.
·
Imunologi
: deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
II.
Diagnosa
Keperawatan
a. Gangguan
integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
b. Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
c. Gangguan
rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
d. Gangguan
intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
e. Gangguan
Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
III. Intervensi
1. Gangguan
integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal


a.
Observasi
kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya
yang terjadi.
Rasional :Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status
dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
b.
Gunakan
pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
Rasional :Menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari
baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan
menurunkan resiko infeksi
c.
Jaga
kebersihan alat tenun.
Rasional : Untuk mencegah infeksi
d.
Kolaborasi
dengan tim medis.
Rasional
: Untuk
mencegah infeksi lebih lanjut
3.
Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan


a. Kaji
kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai.
Rasional
: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan.
b.
Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional
: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
c. Hidangkan
makanan dalam keadaan hangat.
Rasional : meningkatkan nafsu makan
d.
Kerjasama dengan ahli gizi.
Rasional
: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan
berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
4.
Gangguan
rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit

·
Melaporkan
nyeri berkurang
·
Menunjukkan
ekspresi wajah/postur tubuh rileks

a.
Kaji
keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya.
Rasional
: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada
area yang sakit.
Rasional : meningkatkan relaksasi, menurunkan
tegangan otot dan kelelahan umum
c.
Pantau TTV.
Rasional
: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
d.
Berikan
analgetik sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan rasa nyeri
5.
Gangguan
intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik


a.
Kaji
respon individu terhadap aktivitas.
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan individu
dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
b.
Bantu
klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien.
Rasional : energi yang dikeluarkan lebih optimal
c.
Jelaskan
pentingnya pembatasan energi.
Rasional : energi penting untuk membantu proses
metabolisme tubuh
d.
Libatkan
keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien.
Rasional :
klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
6.
Gangguan
Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

·
Kooperatif
dalam tindakan
·
Menyadari
hilangnya pengelihatan secara permanen

a.
Kaji
dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional : Menetukan kemampuan visual
b.
Kaji
deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional : Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan
perawatan.
c.
Sesuaikan
lingkungan dengan kemampuan pengelihatan.
Rasional : Meningkatkan self care dan mengurangi
ketergantungan.
d.
Kaji
jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional :Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan
pengelihatan menurun.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu
kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan
pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum
berat
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922
oleh dua dokter, dr. Stevens
dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak
dapat menentukan penyebabnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Corwin,
Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
2.
Doenges.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
3.
Hamzah,
Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
4.
Mansjoer,
Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3, jilid 2. Media Aesculapius : Jakarta
5.
Price
dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit
Edisi 2. Jakarta: EGC.
6.
Smeltzer,
Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8, volume 3. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
7.
Tim
Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
8.
Tim
Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar